Minggu, 10 Juli 2011

PRIMBON RAMALAN JODOH





Serat Wedhatama

kaweroh keslametan diri
sesanti kepribaden poroleluhur
sugih tanpo bondho
digdaya tanpo adji
nglurug tanpo bolo menang tanpo ngasorake
terimah mawi pamrih
suwung pamrih tebih adjrih
langgeng tan ono susah
langgeng tan ono bungah
anteng mantheng sugeng jeneng

dalam bahasa indonesia :
pengetahuan keselamatan diri
ajaran tentang kepribadan dari para leluhur
kaya tanpa harta
sakti tanpa ilmu
mendatangi tanpa teman
menang tanpa merendahkan
menerima dengan iklas
tanpa pamrih jauh dari ketakutan
abadi tanpa susah
abadi tanpa senang
diam diri punya nama

keterangan:
sugih tanpo bondho
kaya yang dimaksut disini adalah kaya akan ilmu, sugih sedulur, sugih kebijaksanaan
digdaya tanpo adji
orang sakti tanpa adji(ilmu) itu bisa aja..jika orang dekat dengan Yang Kuasa maka dia akan lebih sakti daripada orang yang berilmu sekalipun.orang yang pengen mendapatkan keselamatan ngga membutuhkan adji..sakti itu adalah efek samping dari kedekatannya sama Yang Kuasa
nglurug tanpo bolo
jadilah orang yang berwatak satria..jadi menyelesaikan suatu masalah tuh ngga mengajak segerombolan orang.jadi diselesaikan dengan bertatap muka langsung,sehingga orang yang di datangi ngga akan berpikiran macam2 dan masalah menjadi semakin ruwet
ngalahake tanpo ngasorake
mengalahkan musuh tanpa musuh itu ngga sadar klo dia itu kalah,caranya adalah selesaikan jalan damai tanpa harus berkelahi.musyawarah utk mencapai sebuah kemufakatan dan menemukan win win solution.semuanya ngga ada yang kalah
trimah mawi pamrih
ini yang namanya menolong dengan iklas
suwung pamrih tebih adjrih
jika kita ngga punya hutang budi maka kita ngga akan mengalami beban untuk membayar hutang itu
langgeng tan ono susah
langgeng tan ono bungah
kita harus mempunyai hati yang tenang..
jadi ngga terbawa nafsu.orang yang ngga terbawa nafsu hatinya akan bersih
jika suara hati kita tidak didasari nafsu maka kita bisa memutuskan sesuatu dengan objektif
anteng mantheng sugeng jeneng
diam itu emas dalam artian bicara seperlunya ngga besar cakap/sombong

jika ada kesalahan dalam menulis mohon dikoreksi dan jika ada masukan dari teman2 untuk lebih memperkaya kebudayaan sumonggo dibahas lebih dalam lagi..
terimakasih

Wassalam

ASAL USUL

ORANG Jawa, yang sudah memperoleh pencerahan agama, memandang hidup sebagai proyek pembangunan moral, dan karena itu moral menjadi lebih dari semua yang bersifat meteriil dan duniawi. Filsafat asal kejadian manusia dipahami secara sederhana melalui tradisi lisan dalam tembang Dandang Gula rekaan Kanjeng Sunan Kalijaga.

Ajaran Sang wali yang memandang hidup cuma ibarat orang pergi ke pasar yang akhirnya tentu "bakal mantuk neng wismane sangkane uni", akan kembali ke rumah asalnya, telah teradopsi secara kultural menjadi moralitas Jawa.

Tuntutan yang lebih bersifat akademis untuk menjelaskan, atau mengingat bahwa hal itu berasal dari spiritualitas Islam tampaknya tak lagi terasa penting, sebab yang lebih penting adalah bagaimana menginternalisasikan ajaran itu ke dalam jiwa dan mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.

Moral agama yang meresap ke dalam budaya dan cita rasa Islam yang menjadi serba Jawa ini menggambarkan sukses gemilang dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga untuk membikin agama bersenyawa dengan kehidupan, dan bahwa ruh agama harus mewarnai seluruh tampilan hidup kita. Ringkasnya, hidup itu agama, dan agama itu hidup.

Pangeran Mangkunegara IV yang alim, merumuskan "agama agiming aji", bahwa agama harus menjadi pegangan hidup, dihayati secara mendalam, dilakoni, dan dijadikan barometer kehidupan.

Ia bicara hakikat bahwa agama bukan jubah, bukan serban, bukan jenggot, bukan peci, bukan tabligh akbar, bukan tahlilan, bukan salawatan, bukan pula aroma hidup serba Arab, melainkan mahkota jiwa, hiasan keluhuran budi, benteng sopan santun, kelembutan, dan semangat menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, agar agama memancar bukan cuma di dalam masjid atau dalam takbiran, melainkan juga dalam hidup, termasuk dalam politik, agar hidup tak pernah kehilangan keindahannya.

Hidup, juga dalam politik, membutuhkan juru dakwah setingkat Kanjeng Sunan Kalijaga tadi. Juru dakwah politik kita yang setingkat itu, mungkin Bung Karno. Ia gigih bicara nation and character building, yang juga menjadi acuan moral politik kita dulu dan sekarang, dan mungkin juga kelak, sebab meskipun sudah merdeka secara politis, jiwa kita masih budak.

"Agama ageming aji" sebagai cita-cita ideal, bagi Pangeran Mangkunegara IV merupakan syarat yang harus dimiliki para pemimpin yang kelak memimpin tanah Jawa. Bagi kita bukan cuma tanah Jawa, melainkan Indonesia. Tugas para pemimpin mengubah agar kemerdekaan politik juga diikuti kemerdekaan jiwa, ekonomi, dan sosial, dan dengan begitu kita menjadi bangsa yang gagah dan punya harga diri, dan kekuasaan di mata dunia. Kita tak boleh mengemis pada bangsa dan lembaga apa pun. Maka, megaproyek untuk menjadikan "agama ageming aji" harus terwujud. Dan, kita, insya Allah, bisa melakukannya.

"Syaratnya?"

"Kita mengader pemimpin sejati, para patriot, dan pendekar bangsa yang lebih asli, lebih tulen dari para pemimpin yang cuma ala kadarnya sekarang ini."

SECARA kultural pun gagasan "agama ageming aji" tak akan pernah mendorong kita bersikap terlalu hitam-putih. Bahkan, rumusan agamis antara "beriman" dan "kafir" pun patut dipahami secara hati-hati, sebab jarak wilayah batin antara keduanya sering terasa sangat dekat.

Orang "beriman" sering terpleset ke wilayah "kafir". Banyak orang yang tak merasa dirinya hidup dalam "kekafiran".

Politisi bohong, birokrat menyimpang, direktur memalsu dokumen, pengusaha culas, apa bahasa agamanya bila bukan kafir?

"Amankah posisi para rohaniwan dari jebakan kekafiran?"

"Tidak. Rohaniwan yang tak rendah hati dan merasa paling benar, jelas sedang berjubah kekafiran."

Kakek orang Kristen, Yahudi, dan Islam-Gusti Kanjeng Nabi Ibrahim AS-itu contoh orang beriman yang tulen.

Kemakmuran negeri Arab Saudi dan sekitarnya tak lepas dari doa sang kakek agar kelak anak cucu yang hidup di padang pasir yang tandus dan kering itu tak menjadi bangsa kesrakat dan terlunta-lunta.

Cintanya pada dunia-pada anak, Ismail-tak pernah menggeser cintanya kepada Tuhan. Terbukti, ketika turun ujian agar Ismail disembelih, kakek kita tersebut tetap istikomah dan sang anak pun dikorbankan.

Ini lebih dari sekadar menjadikan "agama ageming aji" dalam pengertian kita. Ia memang orang besar bukan cuma karena ia nabi.

Bila ia hidup pada zaman Winnetou, ia pasti ke Amerika dan meminta koboi-koboi Texas tak saling membunuh. Bila ia hidup sekarang, ia pun akan menyuruh koboi-koboi lainnya tak saling memerangi, apa lagi perang sekadar demi minyak. Lebih-lebih minyak itu milik bangsa lain yang jauh, di Timur Tengah.

Ia pun pasti akan berseru, "Wahai kamu sekalian, orang Kristen, Yahudi dan Islam, tak sadarkah kalian baku saudara satu sama lain?"

Andaikan ia hidup di Jakarta, ia pasti merelakan sebagian pabriknya, sebagian mobil mewahnya, sebagian rumah megahnya, sebagai korban. Ia pun akan bersedia membersihkan partai politiknya agar tak berlumuran darah rakyat terus-menerus.

"Agama ageming aji" di tangan kakek tua renta itu, telah membuat api musuh yang membakar tubuhnya berubah sejuk, bagaikan udara di sekitar Ka'bah, di Mekkah, tempat anak cucunya di seluruh muka Bumi sekarang menapak tilas kehangatan cintanya.*

Wassalam

SERAT CEMPORET

1. Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah)

2. Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.

3. Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.

4. Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.

5. Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.

6. Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana.

7. Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging.

8. Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam.

9. Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.

10. Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera.

11. Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh kewibawaan.

12. Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.

13. Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari mancanegara.

14. Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya.

15. Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.

16. Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.

17. Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.

18. Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara menyamar. Syahdan bergantilah yang diceritakan, Kyai Buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga cucu seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita.

19. Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Yang tua perempuan bernama Rara Srini, adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa akan tetapi seperti putra raja.

20. Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar Sendangkulon, Orang membayangkan perasaannya betapa bahagianya andaikata terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut, yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk menjaga keselamatan keluarga.

21. Tersebutlah Ki Buyut yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya wahyu diwaktu tengah malam.

22. Turunlah istrinya, jin yang bernama Diah ratna Sriwulan, ia datang dengan tiba-tiba dan Ki Buyut segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas, suaminya diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu.

23. Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang menguasai sebuah kerajaan yang berpust di Pagelen bergelar Sri Manuhun. Kedatangannya karena menaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat.

24. Kelak pasti mempunyai putra yang tampan, petunjuk itu benar-benar dilaksanakan, ia datang seorang dari tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata, dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia dipersitri oleh raja, untuk menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut merasakan kebahagiaan.

25. Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya “ Wahai adinda, bagimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan kehendaknya, terbuka secara serasi “ Ratna Sriwulan menjawab “ jangan kuarti ! sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat.

26. Atau sarana sebagai tabir, anda menggunakan cara terbuka pasti nanati ada tanda-tandanya yang bercirikan tulisan. Jelaskan apa adanya, jika sudah ada buktinya, disitulah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan petunjuk yang harus ditafsirkan, lalu tinggallah puji dan doa.

27. Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami, dalam sekejap mata mata ia telah lenyap, gain tertutup suasana. Tersebutlah Kyai Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut tata rumah, yang disuruh mengiakan keduanya mulai bersiap-siap.

28. Patanenya dibersihkan semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampiri tikar berderet-deret, minuman diatur diatas para-para dengan sesajian lengkap dan penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa segala persiapan di dalam rumah sudah selesai, ia merasa gembira lalu gembira.

29. Untuk menyongsong kedatangan raja, tak lama kemudian bertemu di pagar rumah, kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan dan raja, setibanya di dukuh menanggapi dengan seneng, lalu masuk ke rumah. Sri Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur, dengan senang hati ia duduk tanpa ragu-ragu.

30. Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama kedua orang anaknya, beberapa saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang “ Atas kedatangan Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya.

31. Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap, semuanya bertmabha indah dan semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur, hamba bagaikan mimpi, apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang menyamar seorang diri tanpa pengiring, pagi-pagi bener tersesat dan berkenan mengunjungi pondok hamba.

32. Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekitarnya kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dukun, yang tak mungkin tahu akan sopan santun. “ Sri Baginda menjawab “ Sudahlah, jangan berkata demikian. Memang sengaja saya sampai di sini, sebabnya ialah karena taat kepada petunjuk, Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya.

33. Sejak awal hingga akhirnya bertemu, kemudian ujarnya meminta “ Sesungguhnya aku mengharapkan pertolonganmu, terserah bagimana petunjukmu, aku menurut “ Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang sembah, “ Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak dewa itu, namun apa kemampuan hamba.

34. Orang desa lagi hanya petani jelata, paling-paling hanya mengolah tanaman menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel, jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk menduga-duga masalah kesaktian yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya, oleh karena itu hamba berserah diri.

35. Ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati hanya karena merasa bertanggung jawab, namun hati ini ternyata buntuk. Mengapa dunia jadi terbalik, junjungan minta sarana kepada rakyatnya, tentu tidak akan terjadi, lautan mengalir ke kubangan air, demikianlah jika diumpamakan dengan air.

36. Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian, yang terjadi sejak jaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya.

37. Raja Pagelen berkata lembut, “Hai, paman. Meskipun demikian, namun aku ini menaati petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh, biarlah. Akan kuterima juga.

38. Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa puas. “Ki Buyut berdatang sembah dengan suara lemut, “Wahai, Sri Baginda. Jika demikian kehendak paduka, hamba tidak akan ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun.

39. Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan terang. “Sri Baginda berkata lagi, “Nah paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah segera ilmumu seadanya. “Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup.

40. Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, sekarang silahkan paduka mengambil sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki. “Sri Baginda heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha mendapatkan petunjuk.

41. Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi: “Hai, Sri Baginda! Sudilah engkau mengambil srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar kesalamatan. “Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menagkap sasmita atau petunjuk yang tertulis itu. Relug kalbunya masih ruwet.

42. Akhirnya Sri Baginda berkata, “paman Buyit. Coba jelaskan makna kalimat ini. Apa gerangan maksudnya. Aku belum dapat menagkap artinya. “Kyai Buyut tersenyum berdatang sembah, “Hamba mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa tahu, petunjuk tulisannya berlainan. “Sri Baginda tidak menolak.

43. Kemudian mengambil lagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barang kali menemukan jawaban, Sri Baginda berpura-pura.

44. Mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, “Paman, saya tertarik kepada kedua anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak adik. Apakah itu anak-anakmu ?”

45. Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya demikian “ Duhai Sri Baginda, benar ia anak hamba kelahiran Sendangkulon sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya keduanya tidak dapat berpisah dengan ayahnya, oleh karena itu siang dan malam keduanya tetap berada diasrama.

46. Sri Baginda tersenyum seray berkata lembut “ Sudah sepantasnya orang mempunyai anak, tentu begitu itu anggapannya, menurut kata peribahasa, umpama kereweng kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik, sudah sepantasnya bagaikan nyawa, sepintas lalu seperti kembar, mana yang lebih tua dan siapa namanya.

47. Ki Buyut menjawab “ Yang tua namanya Srini, sedangkan yang muda bernama Sarana “ Sri Baginda berkat menanggapi, kalau begitu yang tua pantas memelihara isi istana, sedangkan yang muda memelihara kerajaan “ Mendengar ucapan Sri Baginda, Ki Buyut menyembah, beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringikan oleh Ki Buyut sekeluarga.

48. Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa, keduanya adalah ipar Sri Baginda, diceritakan Arya Pratala itu, adiknya yang bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda.

49. Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka Pratana, sedangkan Arya Banawa kakak perempuan yang bernama Rara Jahnawi, yang menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, yang diberi nama Raden Jaka Sangara yang sudah diceritakan diatas.

50. Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda, mereka diberi tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran, sekarang atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja, sedangkan kedua selir menjadi istri yang diberi kekeuasaan untuk mengatur segala pekerjaan di dalam istana.

51. Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, yang diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik. Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua Arya dimasyhurkan sebagai yang memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam pekerjaan serta pemegang hukum kerajaan.

52. Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan meninggalkan anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan pakuwannya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri Baginda, dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya mahir membina kewibawaan.

53. Rara Srini tidak lama kemudian hamil, setelah cukup waktunya lahirlah anak laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara, menggembirakan hati Sri Baginda, putranya disambut dan dilihat keadaannya benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana.

54. Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban bernama Ni Wilasita, waktu berjalan tersu, putra Baginda hampir menjelang akil balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai initi insan yang terpuji, serba suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas menjadi seorang raja.

GATHOLOCO

Gatholoco, suluk karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Waktu penulisan pada hari senin. Pahing tanggal, 8 Jumadilawal 1962 Jawa. Isi teks menceritakan perbincangan atau perdebatan antara Gatholoco dengan Dewi Perjiwati mengenai hakikat pria-wanita, perilaku dalam asmaragama dan asal terjadinya benih manusia.

Tokoh Gatholoco digambarkan sebagai seorang anak raja Suksmawisesa dari kerajaan Jajarginawe yang berparas jelek sekali. Ia mempunyai seorang hamba yang sangat setia, bernama Darmagandhul yang tidak kalah jeleknya dari dirinya. Gatholoco disuruh bertapa oleh ayahnya agar ia menjadi orang yang sangat pandai berdebat, pandai tulis-menulis, dan pandai berhitung tanpa guru. Kelak ia akan mendapat lawan tangguh dalam berdebat mengenai kawruh kasunyatan “ Ilmu Sejati “ yang bernama Dewi Perjiwati.

Diceritakan tentang tiga orang guru mengaji, yaitu Abduljabar, Abdulmanab, Abdulgharib. Ketiganya amat fasih dalam membaca Al Quran, Fikih dan Nahwu. Mereka berjumpa dengan Gatholoco dalam perjalanan sewaktu mencari lawan berdebat tentang ilmu yang dikuasinya. Terjadilah perdebatan antara ketiga guru mengaji tersebut dengan Gatholoco. Perdebatan meliputi tentang arti orang yang memiliki ilmu, haram, atau najis dan arti halal. Gatholoco memenangkan perdebatan dan akhirnya mengajak mereka berteka-teki.

Teka-teki Gatholoco mengenai : wayang, dalang, blencong, dan kelir. Dari keempat itu manakah yang lebih tua ? perdebatan dimenangkan oleh Gatholoco. Ia menerangkan juga tentang hakikat : wayang, dalang, kelir, blencong dan gamelan. Ketiga guru mengaji itu akhirnya meninggalkan Gatholoco dan menuju Cepekan. Di Cepekan terdapat tiga orang guru mengaji, yaitu : Kasan Mustahal, Kasan Besari, dan Ki Duljalal. Mereka ini didatangi oleh ketiga ketiga orang guru mengaji yang kalah berdebat dengan Gatholoco. Mereka menceritakan tentang kekalahan dalam perdebatan. Gatholoco dicari dan diajaknya ke Pondok Cepekan untuk diajak berdebat tentang ilmu sejati. Perdebatan antara Gatholoco dengan ketiga orang guru mengaji di Pondok Cepekan berlanjut. Akhirnya dimenangkan oleh Gatholoco, karena mereka kalah, maka diusirlah Gatholoco dari pondok tersebut. Pada mulanya Gatholoco tidak mau pergi kalau tidak diberi uang. Akhirnya, ia meninggalkan pondok tersebut untuk melanjutkan pengembaraannya.

Perjalanan Gatholoco sampai di gunung Endragiri dan bertemu dengan seorang pertapa yang bernama Dewi Perjiwati yang di dampingi oleh para emban dan cantriknya. Sebelum bertemu dengan Dewi Perjiwati terpaksa harus menghadapi para emban dan cantriknya yang mendampinginya. Para emban dan cantrik tersebut memberikan teka-teki untuk dijawab oleh Gatholoco. Ternyata teka-teki yang diberikan dapat dijawab oleh Gatholoco dengan baik, kemudian Gatholoco dapat bertemu dengan Dewi Perjiwati, maka terjadilah tanya jawab. Pertanyaan yang diajukan oleh Dewi Perjiwati adalah tentang arti kalimah Sahadat, arti pria-wanita dan suaimi istri. Apabila Gatholoco dapat menebak dengan betul maka sebagai imbalannya adalah Dewi Perjiwati bersedia menjadi istrinya. Ternyata Gatholoco dapat memenangkan perdebatan tersebut sehingga Dewi Perjiwati terpaksa mau menjadi istri Gatholoco walaupun dengan berat hati. Para emban dan cantrik memberikan saran agar Gatholoco diajaknya masuk ke gua, setelah sampai di dalamnya maka pintu gua segera ditutup.

Darmagandhul, hamba setia Gatholoco memperingatkan tetapi tidak dihiraukan , ia mengalami pingsan di dalam gua. Setelah sampai diluar ia baru sadar bahwa telah terjebak oleh tipu Dewi Perjiwati. Karena merasa terjebak, maka Gatholoco merasa malu, akhirnya ia masuk kembali ingin berperang dengan Dewi Perjiwati. Keduanya ternyara sama-sama sakti dan tidak ada yang menyerah. Tidak lama kemudian lahirlah seorang bayi dari rahim Dewi Perjiwati, baik Dewi Perjiwati maupun Gatholoco sangat sayang melihat anak tersebut. Ia bertanya kepada Dewi Perjiwati, sebetulnya anak siapakah bayi itu ? dijawabnya. Ia adalah anak dari Gatholoco sendiri. Anak tersebut kelak diberi ajaran tentang rukun Islam.

SERAT WULANGSUNU

Karya : Paku Buwono IV
Pupuh I

a. Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.

b. Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro.

c. Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit, mulane den rumongso.

d. Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok sore nganti resik, lamun luwe dinulang

e. Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang, ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya.

f. Lamun sira mangke anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira, ingukum dening Hyang Manon, tembe yen lamun lampus, datan wurung pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget siksanipun, mulane wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe lakonano.

g. Parandene mangke sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok balawanan ucape, sumahir bali mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik temahira, donya keratipun, tan wurung kasurang-kasurang, tembe mati sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat.

h. Yen wong anom ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira, den wulang ibu ramane, asilo anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti, lungo teko anembah iku budi luhung, serta bekti ing sukma, hiyo iku kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan.

i. Kang wus kaprah nonoman samangke, anggulang polah, malang sumirang, ngisisaken ing wisese, andadar polah dlurung, mutingkrang polah mutingkring, matengkus polah tingkrak, kantara raganipun, lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit, ngorekken wong kathah.

j. Poma aja na nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung weleh polahe, kasuluh solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune ingeseman ing sasaminipun, mulaneta awakingwang, poma aja na polah kang silip, samya brongta ing lampah.

k. Lawan malih wekas ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira tinggal bote, murwaten lan ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek kuwawa, lamun siro luhur, den prawira anggepiro, dipun sabar jatmiko alus ing budi, iku lampah utama.

l. Pramilane nonoman puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang becik pituture, tan sira temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire tatakromo, bathine bekti mring tuhu, mula eta wekasing wong, sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta lampah.
Terjemahannya:

Pupuh I

a. Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut, pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.

b. Bila nanti kamu melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat pasti baik pada akhirnya berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali diperlihatkan akan perbuatan baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu masih bayi, ibumu lebih sakit dan menderita memelihara kamu.

c. Tidak enak makan dan tidur, ibumu memelihara kamu walau hanya makan nasi garam walaupun hanya untuk membasahi kerongkongan , makan kelapa pun dilakukannya setiap hari mandi dan mencuci di sungai dengan langkah terseok-seok ibumu memelihara kamu ketika kecil untuk itu rasakanlah hal itu.

d. Keadaan pahit getir ibumu memelihara kamu dia tidur hanya sambilan meskipun penuh dengan air seni terkena tinja dilakukannya bila kamu buang air besar ditatur dan dipangku, dibersihkan oleh ibumu dimandikan setiap pagi dan sore sampai bersih, bila kamu lapar disuapi.

e. Ketika kamu berumur sembilan bulan, pada saat kamu bisa merangkak pekerjaan ibumu hanya menjagamu walau hanya memakai kain sambungan, memeliharamu ketika kamu masih kecil, bila kamu kurang makan, dicarikan sampai dapat, nanti kalau kamu sudah dewasa, tidak bisa pembalasanmu kecuali berbuat baik dan berbakti kepadanya.

f. Bila kamu nanti berbuat aniyaya terhadap orang tuamu, dihukum oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, besok kalau mati niscaya akan kembali bersama api, kalau orang senang durhaka, siksanya sangat berat, maka aku berpesan jangan berani ibu bapak anakku, lakukan perintah keduanya.

g. Adapun kamu nanti, bila dididik ibu bapak ucapanmu sering berlawanan menyahut lalu berpaling, cegahlah itu anakku, tidak baik pada akhirnya, dunia akherat akan sia-sia, besok kalau mati dimusuhi Tuhan, disiksa oleh Malaikat.

h. Sedangkan anak muda yang baik, pendapatnya tidak begitu dididik ibi bapaknya, duduk bersila dihadapannya, orang tuanya bagaikan Tuhan, pergi pulang bersujud, itu adalah budi yang luhur serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Hidup yaitu yang menciptakan mati dan hidup serta pemberi sandang dan pangan.

i. Yang sudah kaprah bagi anak muda, bertingkah malang melintang memanjakan diri, bertingkah yang keterlaluan duduk seenaknya dan tak tahu kesopanan, berlaku congkak, senang memperlihatkan badannya, kelakuannya tidak terarah, bila badannya tersentuh menjingkat dan selalu membuat onar orang banyak.

j. Ingat-ingat jangan ada yang melakukan, segala tingkah yang salah, tingkahnya pasti akan terkuak (diketahui orang banyak), ia akan tersuluh dan tidak kuat menyandangnya, seolah-olah semua orang hanya melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah jangan ada yang berbuat salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan.

k. Ada lagi nasehatku anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan sampai memberatkan diri, jagalah badanmu, bila derajatmu kecil, jangan merasa pesimis, bila kamu menjadi orang luhur, tegakkanlah pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah perbuatan yang utama.

l. Maka dari itu kaum muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan orang tua, perhatikanlah petunjuknya yang baik, dari lahir sampai batin, lahir dengan tatakrama, batinnya dengan berbakti kepadanya, itulah nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu tidak mengalami kesusahan

SERAT SABDATAMA

Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun, Angayomi lukitaning kalbu, Gambir wanakalawan hening ing ati, Kabekta kudu pitutur, Sumingkiring reh tyas mirong

Tumbuhlah suatu keinginan melahirkan perasaan dengan hati yang hening disebabkan ingin memberikan petuah-petuah agar dapat menyingkirkan hal-hal yang salah.

2. Den samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon

Diharap semuanya maklum bahwa dijaman Kala Bendu
sebaiknya mengurangi nafsu pribadi yang akan membenturkan kepada kerepotan. Hasilnya hanyalah perbuatan yang buruk.

3.Ngajapa tyas rahayu, Nyayomana sasameng tumuwuh, Wahanane ngendhakke angkara klindhih, Ngendhangken pakarti dudu, Dinulu luwar tibeng doh

Sebaiknya senantiasa berbuat menuju kepada hal-hal yang baik. Dapat memberi perlindungan kepada siapapun juga. Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka, melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.

4. Beda kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, Kakinthilan manggon anggung atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung agoroh

Hal ini memang lain dengan yang ngaji pumpung. Hilang kewaspadaannya dan kerepotanlah yang selalu dijumpai, selalu mengikuti hidupnya. Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.

5. Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh

Lenyap kebudayaannya. Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh. Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya. Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun mempercayainya. Akhirnya hanyalah kerepotan saja.

6. Rong asta wus katekuk, Kari ura-ura kang pakantuk, Dandanggula lagu palaran sayekti, Ngleluri para leluhur, Abot ing sih swami karo

Sudah tidak berdaya. Hanya tinggallah berdendang.
Mendendangkan lagu dandang gula palaran hasil karya nenek moyang dahulu kala, betapa beratnya hidup ini seperti orang dimadu saja.

7. Galak gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, Rangu-rangu pamanguning reh harjanti, Tinanggap prana tumambuh, Katenta nawung prihatos

Ki Pujangga didalam membuat karyanya mungkin ada kelebihan dan kekurangannya. Olah karena itu ada perasaan ragu-ragu dan khawatir, barangkali terdapat kesalahan / kekeliruan tafsir, sebab sedang prihatin.

8. Wartine para jamhur, Pamawasing warsita datan wus, Wahanane apan owah angowahi, Yeku sansaya pakewuh, Ewuh aya kang linakon

Menurut pendapat para ahli, wawasan mereka keadaan selalu berubah-ubah. Meningkatkan kerepotan apa pula yang hendak dijalankan.

9. Sidining Kala Bendu, Saya ndadra hardaning tyas limut, Nora kena sinirep limpating budi, Lamun durung mangsanipun, Malah sumuke angradon

Azabnya jaman Kala Bendu, makin menjadi-jadi nafsu angkara murka. Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik. Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.

10. Ing antara sapangu, Pangungaking kahanan wus mirud, Morat-marit panguripaning sesami, Sirna katentremanipun, Wong udrasa sak anggon-anggon

Sementara itu keadaan sudah semakin tidak karu-karuwan,
penghidupan semakin morat-marit, tidak ketenteraman lagi, kesedihan disana-sini.

11. Kemang isarat lebur, Bubar tanpa daya kabarubuh, Paribasan tidhem tandhaning dumadi, Begjane ula dahulu, Cangkem silite angaplok

Segala dosa dan cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan. Yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya dapat makan.

12. Ndhungkari gunung-gunung, Kang geneng-geneng padha jinugrug, Parandene tan ana kang nanggulangi, Wedi kalamun sinembur, Upase lir wedang umob

Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan meskipun demikian tidak ada yang berani melawan. Sebab mereka takut kalau disembur (disemprot ular) berbisa. Bisa racun ular itu bagaikan air panas.

13. Kalonganing kaluwung, Prabanira kuning abang biru, Sumurupa iku mung soroting warih, Wewarahe para Rasul, Dudu jatining Hyang Manon

Tetapi harap diketahui bahwa lengkungan pelangi yang berwarna kuning merah dan biru sebenarnya hanyalah cahaya pantulan air. Menurut ajaran Nabi itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

14. Supaya pada emut, Amawasa benjang jroning tahun, Windu kuning kono ana wewe putih, Gegamane tebu wulung, Arsa angrebaseng wedhon

Agar diingat-ingat. Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning (Kencana) akan ada wewe putih (setan putih), yang bersenjatakan tebu hitam akan menghancurkan wedhon (pocongan setan). (Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).

15. Rasa wes karasuk, Kesuk lawan kala mangsanipun, Kawises kawasanira Hyang Widhi, Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena tinegor

Agaknya sudah sampai waktunya, karena kekuasaan Tuhan telah datang jaman kebaikan, tidak mungkin dihindari lagi.

16, Karkating tyas katuju, Jibar-jibur adus banyu wayu, Yuwanane turun-temurun tan enting, Liyan praja samyu sayuk, Keringan saenggon-enggon

Kehendak hati pada waktu tersebut hanya didasarkan kepada ketentraman sampai ke anak cucu. Negara-negara lain rukun sentosa dan dihormati dimanapun.